Jumat, 22 Feb 2019 11:50 WIB
D'TRAVELERS STORIES
Masjid Raya Sultan Riau, Peninggalan Leluhur Melayu
Ardi Winangun
Setelah melangkahkan kaki sekitar 30 meter, masuklah kami ke dermaga yang lebar jalannya sekitar 2 meter. Jalan dermaga yang menjorok ke laut itu terbangun dari beton. Atap yang menaungi sepanjang dermaga membuat tempat itu juga digunakan untuk berteduh para calon penumpang pompong.
Di dermaga dan di bangunan yang melekat, terlihat banyak sepeda motor diparkir. Sepeda motor itu adalah milik orang-orang Pulau Penyengat yang bekerja di Tanjung Pinang.
Sepeda motor itu digunakan oleh masyaakat yang memiliki kegiatan di Tanjung Pinang, pergi ke kantor sebagai pegawai negeri atau bekerja lainnya. Mereka memarkir sepeda motor di dermaga sebab transportasi laut penghubung tidak setiap saat mau mengangkut sepeda motor. Pompong bisa saja mau mengangkut sepeda motor namun pastinya biayanya bertambah.
Di kanan-kiri dermaga itu tertambat pompong-pompong. Pompong-pompong itulah yang setiap saat melayani penumpang untuk menuju Tanjung Pinang ke Pulau Penyengat.
"Mulai jam 05.30 hingga jam 22.00," ujar Surtini, salah seorang warga Pulau Penyengat.
Ketika salah satu pompong ditunjuk untuk dinaiki maka 15 orang segera menuju ke perahu . Perahu kayu tersebut memiliki panjang sekitar 7 meter dan lebar 2 meter itu.
Setelah mesin dihidupkan, secara perlahan pompong itu meninggalkan Dermaga Penyengat. Saat melaju ke pulau seberang, pasti akan melihat dermaga besar yang berada di samping Dermaga Penyengat.
Dermaga besar itu adalah untuk melayani masyarakat yang hendak pergi ke Singapura. Tak heran bila kapal yang ada di tempat itu sekelas Ferry, seperti yang ada di pelabuhan-pelabuhan di Batam.
Untuk menuju ke Pulau Penyengat dari Tanjung Pinang tak membutuhkan waktu lama, sekitar 15 menit. Dari Tanjung Pinang, pulau yang memiliki luas 2 km persegi itu terlihat dengan jelas.
Meski dekat bagi yang pertama kali ke pulau itu, suasana petualang sangat terasa. Mendekati Pulau Penyengat, terlihat rumah-rumah penduduk yang berada di tepi laut. Masyarakat kepulauan setiap harinya berhubungan dan melakukan aktivitas antar pulau.
Mendekati pulau tersebut, terlihat pula bangunan yang sangat berbeda dengan bangunan yang lain. Bangunan itu memiliki 4 menara menjulang dan lancip serta beberapa kubah.
Bangunan itu tak sekadar berbeda dengan bangunan yang ada di sekitarnya namun warna yang melekat padanya sangat mencolok, kuning bercampur sedikit hijau. Warna dominan kuning itu memancar seperti bercahaya.
Setelah perahu ditambatkan di Dermaga Pulau Penyengat, penumpang bergegas meninggalkan pompong. Selepas melintasi dermaga, kami disambut dengan sebuah gapura besar berwarna kuning dengan kalimat tertulis di atas Selamat Datang di Pulau Penyengat.
Tak jauh dari gapura itulah berdiri bangunan yang bercat kuning dan hijau itu. Bangunan inilah yang menjadi salah satu simbol kiblat bangsa Melayu. Di depan bangunan itu terpampang papan nama Mesjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat.
Masjid peninggalan Kesultanan Lingga-Riau itu untuk menjadi masjid seperti yang kami lihat saat ini, pembangunannya dilakukan memerlukan proses dari sultan ke sultan.
Disebutkan ground breaking pembangunan itu dimulai pada tahun 1761. Awal berdiri, masjid itu hanya beralas batu bata dan berdinding kayu serta satu menara setinggi 6 meter.
Ketika pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Lingga-Riau tahun 1831-1844, masjid yang berada di tepi laut itu diperbaiki dan diperluas.
Sebab dirasa keuangan kesultanan terbatas maka Sultan Abdurrahman berkata kepada rakyat Riau agar beramal untuk memperluas masjid. Membangun masjid adalah amal jariyah maka mayoritas rakyat Riau yang beragama Islam melakukan sedekah dengan apa yang dimiliki.
Bertepatan dengan Lebaran, 1 Syawal 1248 Hijriah atau tahun 1832 Masehi, seluruh rakyat dari berbagai penjuru Lingga-Riau tak hanya membantu menjadi pekerja namun juga mengantarkan makanan buat pekerja. Makanan yang dikirim melimpah terutama telur.
Saking banyaknya telur sampai para pekerja bosan sehingga hanya kuning telurnya yang disantap. Sementara putih telur, dibuang sayang, maka digunakan sebagai bahan campuran untuk merekatkan pasir dan kapur. Dari sinilah yang membuat masjid itu dikenal pembangunannya dari putih telur.
Menurut Hambali, marbot Masjid Sultan Riau, masjid yang mempunyai ukuran 18 meter kali 20 meter itu mampu menampung 400 jamaah.
"Kalau Lebaran sampai 1000 jamaah. Sampai kanan-kiri masjid dipakai. Di saat puasa, masjid ramai dengan berbagai kegiatan," ujarnya.
Sebagai tempat wisata, Hambali mengungkapkan selain wisatawan dari dalam negeri banyak juga wisatawan dari Malaysia dan Singapura. Saat ditanya mengapa masjid itu dicat warna kuning dan ada warna hijau.
"Warna kuning sebagai simbol kejayaan Melayu, warna hijau sebagai simbol kejayaan Islam," jawab Hambali.
Masjid ini berada di pintu masuk Pulau Penyengat sehingga orang yang menuju ke pulau itu pasti akan melintasi. Di sekitarnya selain ada pedagang kaki lima dan warung juga ada penginapan.
Penginapan tak jauh dari masjid itu memasang tarif kisaran Rp150.000 hingga Rp 300.000. Salah seorang pedagang kaki lima yang berada di depan masjid, Yuniati, mengatakan Pulau Penyengat ramai pada musim libur.
"Desember saat musim libur sekolah di Singapura," ujarnya.
Sebagai pedagang gorengan, Yuniati mengaku usaha yang dijalankan itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
"Kalau mau lebih ya ke Singapura," ujarnya.
Selepas dari Mesjid Raya Sultan Riau, perjalanan dilanjutkan ke Komplek Makam Keluarga Kesultanan Lingga-Riau. Untuk menuju ke sana, transportasi umum yang ada hanya bentor (becak motor).
Puluhan bentor itu selain untuk melayani transportasi keseharian masyarakat di Pulau Penyengat juga untuk mendukung transportasi wisata. Jalan di pulau itu maksimal selebar 4 meter, ada yang diaspal, ada pula yang dibeton.
Bentor yang mampu mengangkut tiga orang penumpang itu melaju melewati jalan, gang-gang, yang ada. Selain perumahan penduduk, di kanan-kiri jalan masih terlihat lahan yang penuh dengan pepohonan.
Setelah beberapa menit, bentor itu tiba di tikungan jalan. Di tikungan itu ada sebuah bangunan berwarna kuning berpadu dengan hijau. Bangunan bergaya perpaduan Tiongkok dengan unsur budaya lain itu merupakan komplek makam keluarga Sultan Riau.
Di tempat itu ada makam Raja Hamidah (Engku Puteri) Permaisuri Sultan Mahmud Shah III Lingga-Riau 1760-1812, Raja Ahmad Penasihat Kerajaan, Raja Ali Haji Pujangga Kerajaan, Raja Abdullah Yom Lingga-Riau IX, dan Raja Aisyah Permaisuri.
Bagi masyarakat Melayu, Raja Hamidah merupakan sosok yang sangat dimuliakan. Ketika dinikahi oleh Sultan Mahmud, mas kawinnya berupa Pulau Penyengat.
Banyak kisah yang mengagungkan Raja Hamidah. Tak heran bila di komplek itu, makam Raja Hamidah berada di dalam ruang dalam bagian utama. Sedang makam Raja Ali Haji berada di luar bangunan utama.
Makam pengubah Gurindam Dua Belas itu membujur di samping pintu masuk bangunan utama. Meski makam Raja Ali Haji berada di luar bangunan utama namun Gurindam Dua Belas-nya dipahatkan pada dinding-dinding bangunan yang mengelilingi makam Raja Hamidah.
Sehingga bila berziarah ke makam Raja Hamidah, kita akan melihat dua belas gurindam itu. Nisan di komplek makam itu semuanya diselubungi kain kuning. Di makam leluhur bangsa Melayu itulah para peziarah bersimpuh untuk mendoakan mereka.
Selepas berziarah di Komplek Makam Kesultanan Lingga-Riau, perjalanan berlanjut ke tempat wisata lain. Sama seperti perjalanan dari Mesjid Sultan Riau ke Komplek Makam, bentor melintasi perumahan penduduk dan lahan-lahan yang penuh tetumbuhan.
Setelah melintasi jalan yang bertepian dengan laut, akhirnya bentor berhenti di sebuah bangunan rumah besar yang disebut Balai Adat Pulau Penyengat Indra Perkasa. Bangunan khas Melayu yang tersusun dari kayu-kayu itu mengingatkan saya saat berkunjung ke Museum Kelantan, Malaysia.
Sebagai Balai Adat, rumah itu mempunyai banyak fungsi, seperti buat pertemuan atau pernikahan masyarakat. Wisatawan pun sering menggelar makan bersama di Balai Adat.
Dikatakan oleh Kelompok Sadar Wisata (Darwis), Heriawan, Balai Adat selain disinggahi oleh wisatawan dalam negeri juga dikunjungi oleh wisatawan dari Malaysia, Singapura, Brunai, dan negara Eropa seperti Jerman.
"Sehari bisa 50 sampai 60 wisatawan," ujarnya.
Di Balai Adat, pihak pengelola juga menyediakan bagi pengunjung yang ingin berfoto dengan menggunakan pakaian tradisional Kesultanan Riau. Tarifnya Rp25.000. Bagi yang berminat, mereka didandani oleh pengelola dan selanjutnya berfoto di mana mereka suka, di singgasana sultan, serambi bahkan halaman Balai Adat.
Di Balai Adat juga dipampang diaroma dan catatan sejarah Kesultanan Lingga-Riau. Di bagaian dalam kita akan melihat diaroma bagaimana Raja Haji Fisabilillah bertempur melawan Belanda. Di samping diaroma itu, ada biografi Raja Ali Haji pengubah Gurindam Dua Belas.
Satu lagi tempat ziarah di Pulau Penyengat yang perlu didatangi, yakni makam Raja Haji Fisabilillah, Makam ini berada di Bukit Penggawa. Raja Haji Fisabilillah memerintah Kesultanan Lingga-Riau dari tahun 1777-1784.
Seperti Sultan di nusantara pada masa itu, ia juga melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan terhadap penjajahan tersebut membuat Raja Haji Fisabilillah diangkat menjadi Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 072/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997.
Menurut juru kunci Makam Raja Haji Fisabilillah, Rudi Sugianto, hari Senin-Kamis biasanya ada sekitar 30 sampai 50 orang peziarah.
"Kalau Jumat sampai Minggu mencapai ratusan. Di hari Lebaran mencapai ribuan," tambahnya.
Peziarah itu disebut berasal dari Malaysia, Singapura, dan Brunai.
"Mayoritas orang Malaysia sebab mereka sudah tahu Raja Haji Fisabilillah. Selain itu juga serumpun," jelasnya.
https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-4435842/masjid-raya-sultan-riau-peninggalan-leluhur-melayu?_ga=2.223478619.110588292.1551030403-1180890612.1472736768
detikTravel Community - Pulau Penyegat di
Riau jadi destinasi populer bagi wisatawan Singapura dan Malaysia.
Kurang terdengar di Indonesia, inilah peninggalan leluhur Melayu.
Sebelum tiba di Dermaga Penyengat, seorang pemandu wisata mengatakan bila hendak menuju ke Pulau Penyengat, satu pompong (perahu kayu bermesin) maksimal diisi oleh 15 penumpang.
"Kalau kurang dari itu boleh," ujarnya dengan tersenyum.
Setelah turun dari bus di sebuah tikungan, persis di depan gapura, kami menuju ke dermaga yang berada di kawasan Kota Tua, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, itu.
Untuk menuju ke Dermaga Penyengat, kami melewati
sebuah jalan yang lebarnya tak lebih dari 3 meter. Kali pertama masuk ke
lorong itu, terlihat penjual otak-otak yang beretnis Tionghoa terlihat
tengah menjajakan makanan itu sambil menawarkan kepada pelintas.Sebelum tiba di Dermaga Penyengat, seorang pemandu wisata mengatakan bila hendak menuju ke Pulau Penyengat, satu pompong (perahu kayu bermesin) maksimal diisi oleh 15 penumpang.
"Kalau kurang dari itu boleh," ujarnya dengan tersenyum.
Setelah turun dari bus di sebuah tikungan, persis di depan gapura, kami menuju ke dermaga yang berada di kawasan Kota Tua, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, itu.
Setelah melangkahkan kaki sekitar 30 meter, masuklah kami ke dermaga yang lebar jalannya sekitar 2 meter. Jalan dermaga yang menjorok ke laut itu terbangun dari beton. Atap yang menaungi sepanjang dermaga membuat tempat itu juga digunakan untuk berteduh para calon penumpang pompong.
Di dermaga dan di bangunan yang melekat, terlihat banyak sepeda motor diparkir. Sepeda motor itu adalah milik orang-orang Pulau Penyengat yang bekerja di Tanjung Pinang.
Sepeda motor itu digunakan oleh masyaakat yang memiliki kegiatan di Tanjung Pinang, pergi ke kantor sebagai pegawai negeri atau bekerja lainnya. Mereka memarkir sepeda motor di dermaga sebab transportasi laut penghubung tidak setiap saat mau mengangkut sepeda motor. Pompong bisa saja mau mengangkut sepeda motor namun pastinya biayanya bertambah.
Di kanan-kiri dermaga itu tertambat pompong-pompong. Pompong-pompong itulah yang setiap saat melayani penumpang untuk menuju Tanjung Pinang ke Pulau Penyengat.
"Mulai jam 05.30 hingga jam 22.00," ujar Surtini, salah seorang warga Pulau Penyengat.
Ketika salah satu pompong ditunjuk untuk dinaiki maka 15 orang segera menuju ke perahu . Perahu kayu tersebut memiliki panjang sekitar 7 meter dan lebar 2 meter itu.
Setelah mesin dihidupkan, secara perlahan pompong itu meninggalkan Dermaga Penyengat. Saat melaju ke pulau seberang, pasti akan melihat dermaga besar yang berada di samping Dermaga Penyengat.
Dermaga besar itu adalah untuk melayani masyarakat yang hendak pergi ke Singapura. Tak heran bila kapal yang ada di tempat itu sekelas Ferry, seperti yang ada di pelabuhan-pelabuhan di Batam.
Untuk menuju ke Pulau Penyengat dari Tanjung Pinang tak membutuhkan waktu lama, sekitar 15 menit. Dari Tanjung Pinang, pulau yang memiliki luas 2 km persegi itu terlihat dengan jelas.
Meski dekat bagi yang pertama kali ke pulau itu, suasana petualang sangat terasa. Mendekati Pulau Penyengat, terlihat rumah-rumah penduduk yang berada di tepi laut. Masyarakat kepulauan setiap harinya berhubungan dan melakukan aktivitas antar pulau.
Mendekati pulau tersebut, terlihat pula bangunan yang sangat berbeda dengan bangunan yang lain. Bangunan itu memiliki 4 menara menjulang dan lancip serta beberapa kubah.
Bangunan itu tak sekadar berbeda dengan bangunan yang ada di sekitarnya namun warna yang melekat padanya sangat mencolok, kuning bercampur sedikit hijau. Warna dominan kuning itu memancar seperti bercahaya.
Setelah perahu ditambatkan di Dermaga Pulau Penyengat, penumpang bergegas meninggalkan pompong. Selepas melintasi dermaga, kami disambut dengan sebuah gapura besar berwarna kuning dengan kalimat tertulis di atas Selamat Datang di Pulau Penyengat.
Tak jauh dari gapura itulah berdiri bangunan yang bercat kuning dan hijau itu. Bangunan inilah yang menjadi salah satu simbol kiblat bangsa Melayu. Di depan bangunan itu terpampang papan nama Mesjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat.
Masjid peninggalan Kesultanan Lingga-Riau itu untuk menjadi masjid seperti yang kami lihat saat ini, pembangunannya dilakukan memerlukan proses dari sultan ke sultan.
Disebutkan ground breaking pembangunan itu dimulai pada tahun 1761. Awal berdiri, masjid itu hanya beralas batu bata dan berdinding kayu serta satu menara setinggi 6 meter.
Ketika pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Lingga-Riau tahun 1831-1844, masjid yang berada di tepi laut itu diperbaiki dan diperluas.
Sebab dirasa keuangan kesultanan terbatas maka Sultan Abdurrahman berkata kepada rakyat Riau agar beramal untuk memperluas masjid. Membangun masjid adalah amal jariyah maka mayoritas rakyat Riau yang beragama Islam melakukan sedekah dengan apa yang dimiliki.
Bertepatan dengan Lebaran, 1 Syawal 1248 Hijriah atau tahun 1832 Masehi, seluruh rakyat dari berbagai penjuru Lingga-Riau tak hanya membantu menjadi pekerja namun juga mengantarkan makanan buat pekerja. Makanan yang dikirim melimpah terutama telur.
Saking banyaknya telur sampai para pekerja bosan sehingga hanya kuning telurnya yang disantap. Sementara putih telur, dibuang sayang, maka digunakan sebagai bahan campuran untuk merekatkan pasir dan kapur. Dari sinilah yang membuat masjid itu dikenal pembangunannya dari putih telur.
Menurut Hambali, marbot Masjid Sultan Riau, masjid yang mempunyai ukuran 18 meter kali 20 meter itu mampu menampung 400 jamaah.
"Kalau Lebaran sampai 1000 jamaah. Sampai kanan-kiri masjid dipakai. Di saat puasa, masjid ramai dengan berbagai kegiatan," ujarnya.
Sebagai tempat wisata, Hambali mengungkapkan selain wisatawan dari dalam negeri banyak juga wisatawan dari Malaysia dan Singapura. Saat ditanya mengapa masjid itu dicat warna kuning dan ada warna hijau.
"Warna kuning sebagai simbol kejayaan Melayu, warna hijau sebagai simbol kejayaan Islam," jawab Hambali.
Masjid ini berada di pintu masuk Pulau Penyengat sehingga orang yang menuju ke pulau itu pasti akan melintasi. Di sekitarnya selain ada pedagang kaki lima dan warung juga ada penginapan.
Penginapan tak jauh dari masjid itu memasang tarif kisaran Rp150.000 hingga Rp 300.000. Salah seorang pedagang kaki lima yang berada di depan masjid, Yuniati, mengatakan Pulau Penyengat ramai pada musim libur.
"Desember saat musim libur sekolah di Singapura," ujarnya.
Sebagai pedagang gorengan, Yuniati mengaku usaha yang dijalankan itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
"Kalau mau lebih ya ke Singapura," ujarnya.
Selepas dari Mesjid Raya Sultan Riau, perjalanan dilanjutkan ke Komplek Makam Keluarga Kesultanan Lingga-Riau. Untuk menuju ke sana, transportasi umum yang ada hanya bentor (becak motor).
Puluhan bentor itu selain untuk melayani transportasi keseharian masyarakat di Pulau Penyengat juga untuk mendukung transportasi wisata. Jalan di pulau itu maksimal selebar 4 meter, ada yang diaspal, ada pula yang dibeton.
Bentor yang mampu mengangkut tiga orang penumpang itu melaju melewati jalan, gang-gang, yang ada. Selain perumahan penduduk, di kanan-kiri jalan masih terlihat lahan yang penuh dengan pepohonan.
Setelah beberapa menit, bentor itu tiba di tikungan jalan. Di tikungan itu ada sebuah bangunan berwarna kuning berpadu dengan hijau. Bangunan bergaya perpaduan Tiongkok dengan unsur budaya lain itu merupakan komplek makam keluarga Sultan Riau.
Di tempat itu ada makam Raja Hamidah (Engku Puteri) Permaisuri Sultan Mahmud Shah III Lingga-Riau 1760-1812, Raja Ahmad Penasihat Kerajaan, Raja Ali Haji Pujangga Kerajaan, Raja Abdullah Yom Lingga-Riau IX, dan Raja Aisyah Permaisuri.
Bagi masyarakat Melayu, Raja Hamidah merupakan sosok yang sangat dimuliakan. Ketika dinikahi oleh Sultan Mahmud, mas kawinnya berupa Pulau Penyengat.
Banyak kisah yang mengagungkan Raja Hamidah. Tak heran bila di komplek itu, makam Raja Hamidah berada di dalam ruang dalam bagian utama. Sedang makam Raja Ali Haji berada di luar bangunan utama.
Makam pengubah Gurindam Dua Belas itu membujur di samping pintu masuk bangunan utama. Meski makam Raja Ali Haji berada di luar bangunan utama namun Gurindam Dua Belas-nya dipahatkan pada dinding-dinding bangunan yang mengelilingi makam Raja Hamidah.
Sehingga bila berziarah ke makam Raja Hamidah, kita akan melihat dua belas gurindam itu. Nisan di komplek makam itu semuanya diselubungi kain kuning. Di makam leluhur bangsa Melayu itulah para peziarah bersimpuh untuk mendoakan mereka.
Selepas berziarah di Komplek Makam Kesultanan Lingga-Riau, perjalanan berlanjut ke tempat wisata lain. Sama seperti perjalanan dari Mesjid Sultan Riau ke Komplek Makam, bentor melintasi perumahan penduduk dan lahan-lahan yang penuh tetumbuhan.
Setelah melintasi jalan yang bertepian dengan laut, akhirnya bentor berhenti di sebuah bangunan rumah besar yang disebut Balai Adat Pulau Penyengat Indra Perkasa. Bangunan khas Melayu yang tersusun dari kayu-kayu itu mengingatkan saya saat berkunjung ke Museum Kelantan, Malaysia.
Sebagai Balai Adat, rumah itu mempunyai banyak fungsi, seperti buat pertemuan atau pernikahan masyarakat. Wisatawan pun sering menggelar makan bersama di Balai Adat.
Dikatakan oleh Kelompok Sadar Wisata (Darwis), Heriawan, Balai Adat selain disinggahi oleh wisatawan dalam negeri juga dikunjungi oleh wisatawan dari Malaysia, Singapura, Brunai, dan negara Eropa seperti Jerman.
"Sehari bisa 50 sampai 60 wisatawan," ujarnya.
Di Balai Adat, pihak pengelola juga menyediakan bagi pengunjung yang ingin berfoto dengan menggunakan pakaian tradisional Kesultanan Riau. Tarifnya Rp25.000. Bagi yang berminat, mereka didandani oleh pengelola dan selanjutnya berfoto di mana mereka suka, di singgasana sultan, serambi bahkan halaman Balai Adat.
Di Balai Adat juga dipampang diaroma dan catatan sejarah Kesultanan Lingga-Riau. Di bagaian dalam kita akan melihat diaroma bagaimana Raja Haji Fisabilillah bertempur melawan Belanda. Di samping diaroma itu, ada biografi Raja Ali Haji pengubah Gurindam Dua Belas.
Satu lagi tempat ziarah di Pulau Penyengat yang perlu didatangi, yakni makam Raja Haji Fisabilillah, Makam ini berada di Bukit Penggawa. Raja Haji Fisabilillah memerintah Kesultanan Lingga-Riau dari tahun 1777-1784.
Seperti Sultan di nusantara pada masa itu, ia juga melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan terhadap penjajahan tersebut membuat Raja Haji Fisabilillah diangkat menjadi Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 072/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997.
Menurut juru kunci Makam Raja Haji Fisabilillah, Rudi Sugianto, hari Senin-Kamis biasanya ada sekitar 30 sampai 50 orang peziarah.
"Kalau Jumat sampai Minggu mencapai ratusan. Di hari Lebaran mencapai ribuan," tambahnya.
Peziarah itu disebut berasal dari Malaysia, Singapura, dan Brunai.
"Mayoritas orang Malaysia sebab mereka sudah tahu Raja Haji Fisabilillah. Selain itu juga serumpun," jelasnya.
https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-4435842/masjid-raya-sultan-riau-peninggalan-leluhur-melayu?_ga=2.223478619.110588292.1551030403-1180890612.1472736768
Tidak ada komentar:
Posting Komentar