TENGKU SULUNG, PANGLIMA BESAR SULTAN RETEH
Tengku Sulung diperkirakan lahir tahun 1698 di Lingga, Kepulauan
Riau. Kelahiran I Lingga ini amat berkait dengan sejarah pemerintah
ayahnya, Sultan Yahya. Pada tahun 1784, terjadi serangan Tengku Syed Ali
Ke Kesultanan Siak yang dipimpin oleh Sultan Yahya. Sultan Yahya kalah
dan menghindar ke Kerajaan Riau-Lingga dimana sultannya masa itu
mempunyai hubungan baik dengannya.
Kedatangan Sultan Yahya di Lingga disambut baik Sultan Mahmud III.
Selama di LIngga, Sultan Yahya dikaruniai putri bernama Raja Maimunah.
Putrinya ini dikawinkan dengan seorang lanun bernama TokLukus. Dari
perkawinan itulah lahirnya Tengku Sulung.
Sejak kecil, Sulung dididik dengan ajaran Islam yang ketat. Pemahamannya akan agama Islam membuatnya tidak suka pada Belanda. Bahkan dia tidak mau bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.
Pada masa remaja, Tengku Sulung pernah pergi ke Kalimantan dan dilatih mengarungi laut. Bahkan di Kruang Kalimantan, dia pernah tertembak sehingga mengenai bagian mukanya yang membekas sampai masa tuanya.
Tengku Sulung bersama seorang sahabatnya, Encik Montel menjadi pemimpin
bajak laut yang tersohor dan menetap di Kalimantan. Kemudian, atas
permintaan seorang Raja yang selalu setia kepada pemerintah Belanda,
Tengku Sulung dan Encik Montel diberik pengampunan oleh Komisaris Du Bus
De Giusignies yang kemudian memperkenankannya untuk menetap di
sepanjang Sungai Reteh. Syarat yang diajukan padanya bahwa ia harus
melepaskan pekerjaan membajak. Hal ini memang ditaatinya
sungguh-sungguh.
***
Tengku Sulung memperoleh kedudukan sebagai Panglima besar Reteh
setelah Sultan Muhammad, Sultan Lingga yang berkuasa di Reteh. Waktu
itu, Sulung tidak mau tuntuk pada Sultan Sulaiman yang diangkat oleh
Belanda untuk kawasan yang sama, menggantikan Sultan Muhammad.
Semula Tengku Sulung berkedudukan di Kota Baru di Hulu Pulau Kijang
sekitar 16 mil dari Pulau Kijang. Di desa ini Tengku Sulung membangun
benteng yang kelak ditandai dengan adanya Desa Benteng di hulu Sungai
Batang. Benteng ini dibangun di kawasan seluas 2 hektar. Sekitar 3 km
dari benteng ini terdapat rumah Tengku Sulung berupa benteng kecil yang
ditumbuhi pohon dedap.
Di benteng itulah pertahanan Tengku Sulung dan pasukannya dalam
melawan Belanda yang datang dari pusat Keresidenan di Tanjung Pinang.
Pada tanggal 20 Oktober 1858, armada Belanda yang datang dari Tanjung
Pinang membangun benteng yang berjarak sekitar 700 elo dari benteng
Tengku Sulung. Saat mendarat dan membangun benteng di kawasan lumpur
itulah, Tengku Sulung bersama 60 orang pasukannya melakukan penyerangan
terhadap armada Belanda tersebut. Pasukan Belanda berhasil di pukul mundur.
***
Dalam perjuangannya, Tengku Sulung didampingi sejumlah pembantu
sebagai juru tulis yakni H. Muhammad Thaha, Said Umar, Raja Ismail dan
Raja Laut. Dalam suatu perperangan pembantu ini sempat ditawan oleh
Belanda. Bahkan pada saat Tengku Sulung dan pasukkannya tertembak oleh
Belanda, sejumlah pengikutnya termasuk istrinya beserta seorang putrinya
berusia 3 tahun masa itu, diamankan oleh Belanda di kapal penjelajah
milik Raja Oesin.
Panglima Besar Reteh ini memainkan peranan puncaknya saat terjadinya perlawan rakyat Reteh yang dipimpinnya.
Perlawanan ini bermula dengan pemakzulan Sultan Mahmud Muzafar Syah
dari Kesultanan Melayu Lingga-Riau pada tanggal 23 September 1857 oleh
Gubernur Jenderal Belanda. Tindakan sewenang-wenang Gubernur Jenderal
Belanda ini dengan alasan Sultan tidak mampu memberantas orang-orang
laut yang dianggap mengganggu pelayaran dan perdagangan Belanda.
Panglima Besar Sulung yang sangat setia pada Tengku Mahmud (mantan
Sultan Mahmud Muzafar Syah). Pada saat Sultan dimakszulkan Panglima itu
menyatakan akan setia membantu Tengku Mahmud yang telah dimakzulkan
pergi ke Singapura. Kemudian Tengku Mqahmud secara sembunyi untuk tidak
diketahui Belanda mensuplai senjata kepada Tengku Sulung dari Singapura.
Akhirnya Tengku Mahmud diperintahkan Inggrs untuk meninggalkan
Singapura karena tidak ingin terlibat konflik dengan Belanda.
***
Tengku Sulung sudah memperkirakan akibat tindakannya mengganggu
pelayaran Belanda disekitar perairan Kepulauan Riau, suatu ketika akan
menimbulkan kemarahan Belanda. Untuk mengatisipasi hal itu, sejak
pemaksulan Sultan oleh Belanda, Tengku Sulung beserta pengikutnya
melakukan konsolidasi kekuatan menghadapai agresi Belanda.
Tengku Sulung sangat didukung oleh pengikutnya baik yang berdiam di hilir maupun di hulu Kotabaru. Tengku Sulung membangun dua benteng
masing-masing sebuah benteng di Kotabaru sebagai kubu pertahanan ecil
dan sebuah benteng lagi di hulu Sungai Sampi (salah satu cabang Sungai
Reteh) sebagai kubu pertahanan pusat. Pada kubu pertahanan besar
ditempatkan 15 buah meriam dan di kubu pertahanan kecil sebanyak 6 meriam.
Sejak bulan Juli 1858, pasukan Tengku Sulung terkepung oleh Belanda
dari berbagai jurusan. Namun Tengku Sulung masih mendapat balabantuan
dari orang-orang Melayu asli dari Reteh, Enok dan Mandah. Bahkan pasukan
dari Kesultanan Indragiri secara menyamar membantu perjuangan Tengku Sulung.
***
Perjuangan Tengku Sulung dan pasukannya terhenti setelah Belanda
membawa Haji Muhammad Thaha, juru tulis Tengku Sulung yang sebelumnya
tertangkap oleh Belanda di Kotabaru. Waktu itu, Tengku Sulung diultimatumkan oleh Residen Belanda supaya menyerah kepada Komandan ekspedisi.
Tengku Sulung masih memberikan perlawanan. Bahkan di meminta bantuan
pada Sultan Said Mudoyatsyah dan Tengku Syarif. Tepatnya 7 November 1858
terjadilah serangan Belanda atas pasukan Tengku Sulung. Kekuatan Tengku
Sulung memang kalah dibanding pasukan Belanda. Akibatnya dalam
pertempuran ini banyak rakyat Reteh yang tewas. Tengku Sulung sendiri
sebelumnya sudah kena tembakan Belanda.
Pada 7 November tahun yang sama, pada saat Tengku Sulung sedang memeriksa tembok benteng, satu tembakan Belanda
mengenai bagian lehernya. Dia jatuh tewas, Mayat Tengku Sulung sempat
dibawa tentara Belanda ke Sungai Mulia dan diletakkan di tempat hingga
hancur.
http://www.instainhil.com/?p=331
________________________
Sumber : Ishak, Hikmat, Indragiri Hilir Halaman Bermain Malyasia,
Hinterland Singapura, Kantor Bupati Indragiri Hilir Bagian Bappeda
Inhil, Tembilahan, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar