Selasa, 26 Desember 2017

Kisah Warga Kampar Menuntut Ilmu ke Negeri Kincir Angin, Raih Gelar Master, Yogi Harus Berdamai dengan Diri Sendiri

Selasa, 26 Desember 2017 14:14
Kisah Warga Kampar Menuntut Ilmu ke Negeri Kincir Angin,
Raih Gelar Master, Yogi Harus Berdamai dengan Diri Sendiri



Kerja keras takkan pernah mengkhianati hasil. Inilah yang telah dibuktikan putra Kampar ini, saat menuntut ilmu hingga ke Negeri Kincir Angin.

Riauterkini-PEKANBARU-Kerja keras takkan pernah mengkhianati hasil. Itulah adagium yang pas untuk menggambarkan perjuangan dan kerja keras seorang anak desa bernama Yogi Suardiwerianto (30) dalam menempuh ilmu hingga berhasil meraih gelar Master dari negeri kincir angin. Perjuangan Yogi adalah perjuangan seorang anak manusia yang dipenuhi dengan airmata, semangat yang tak henti saat diri merasa lelah dirantau, serta kerja keras dan niat yang konsisten agar berhasil di negeri orang. 

Tak semua orang bisa seperti Yogi dalam menjaga semangat serta niat yang terus berkesinambungan. Sebagai manusia, rasa jenuh dan putus asa adalah hal manusiawi. Yang tidak biasa adalah bagaimana rasa sentimentil itu justru menjadi lecutan semangat bahkan dijadikan cambuk agar bisa secepatnya mencapai satu titik, untuk kemudian mendarmabaktikan hasil yang diperoleh pada negeri tercinta.

"Saya tak pernah menyangka bisa mencapai sejauh ini. Jujur saja, awalnya saya sempat ingin menyerah dengan tantangan yang berdatangan apalagi kita berada di negeri orang. Namun berkat dukungan dari keluarga dan atasan saya, akhirnya semua bisa saya lalui," kenang Yogi, memulai ceritanya. 

Sebagai laki-laki asli kelahiran Teluk Dalam, Kabupaten Pelalawan, Yogi lahir dan tumbuh di daerah yang jauh dari hiruk-pikuk kesibukan orang-orang kota. Dari Teluk Dalam ke Ibukota Kabupaten Pelalawan saja yakni Pangkalan Kerinci, butuh waktu sekitar 3 hingga 4 jam dengan menyusuri Sungai Kampar. Jika ditempuh lewat daratan, waktunya akan lebih lama lagi.


Namun ternyata, mimpi Yogi melampaui itu semua. Selepas sekolah di SMA Plus Pekanbaru, Yogi meneruskan pendidikannya di jurusan Ilmu Kelautan di Intstitut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Pengalaman hidup yang mengajarkan Yogi tentang kesederhanaan dan ketepatan waktu, sehingga tak mengalami kesulitan hingga akhirnya berhasil menggondol gelar Sarjana Ilmu Kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Tanpa membuang waktu, Yogi pulang ke kampung halaman di Riau dan langsung mencari pekerjaan.



Tahun 2011, Yogi berhasil diterima oleh perusahaan terkemuka di Riau, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Diterima di RAPP, Yogi ditempatkan di Departemen Manajemen Lahan Gambut dengan jabatan Assistent Trainee. 



Dinilai memiliki kondite yang bagus serta etos semangat kerja baik, salah satu atasan Yogi memintanya untuk mengikuti program pendidikan lanjutan yang dibuka oleh perusahaan. PT RAPP memang kerapkali meneropong kinerja karyawan dan akan mempromosikan karyawan tersebut jika dinilai memiliki kelebihan atau hal-hal lain yang akan bisa memajukan perusahaan.



"Saya juga tak tahu persis, kenapa atasan memilih saya untuk mengikuti program pendidikan lanjutan itu. Tapi karena saya senang mencari ilmu, saya ikuti saja apa yang diperintahkan oleh atasan saya itu," katanya.

Lalu dengan beberapa rekannya, Yogi menghadapi serangkaian tugas terkait dengan program studi yang akan diambil. Namun program studi yang akan diambilnya ini berbeda dengan latar belakang studinya saat dia mengambil gelar Sarjana. Tapi karena ruang lingkup kerjanya berkaitan dengan gambut, maka mau tak mau membuat laki-laki kelahiran tahun 1987 ini harus banting setir dalam meraih gelar Master-nya. Teknik Pengairan adalah studi yang akan diambilnya guna mengambil gelar Master.

Di sinilah tantangan jika tak mau disebut kendala sepertinya mulai terjadi. Ternyata, karena gelar Master yang diambilnya tidak inline dengan jurusan yang diambil sebelumnya membuat banyak Universitas di luar negeri yang menolak.

"Ada beberapa Universitas di Australia dan Inggris saya mendaftar, namun lagi-lagi berakhir dengan penolakan," keluh Yogi sambil menghela napas. 

Untungnya Yogi memiliki mental baja. Pelajaran hidup ketika menjadi anak perantau telah menempanya menjadi laki-laki yang tak patah semangat. Berbekal rekomendasi dari salah seorang rekannya, Yogi akhirnya mendaftar dan lulus untuk M.Sc Programme: Water Science and Engineering di IHE Delft Institute for Water Education, the Netherlands.

"Lumayan panjang perjuangannya untuk mengambil gelar Master di Universitas yang sesuai," katanya.

Cerita Yogi, bulan-bulan pertama kuliah adalah masa-masa terberat baginya. Bahkan, sempat terbetik dibenaknya dan mengutuki kebodohannya karena mau mengambil jurusan bukan lanjutan dari kuliahnya dulu. Jika waktu bisa diputar ulang, ingin rasanya Yogi mengundurkan diri dari semuanya ini. Pergolakan batin itu cukup lama mendekam di hatinya. Bahkan sempat terpikir, dirinya ingin pulang saja ke Indonesia, ke rumah orangtuanya di Salo Kabupaten Kampar.

"Tapi pada satu titik, saya mencoba reka ulang kembali perjalanan hidup saya sampai saya menginjak Negeri Belanda ini. Perlahan, kesadaran itu kembali muncul. Kesadaran untuk menuntaskan semuanya hingga selesai dan memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang dicintainya. Termasuk juga bagi perusahaan PT RAPP yang telah membiayai studi saya ini 100 persen penuh," katanya.

Perlahan namun pasti, Yogi berhasil bangkit dari perang batinnya sendiri. Jika mau berhasil maka dia harus berdamai dengan diri sendiri, itu tekadnya. Namun bukan berarti setelah itu semuanya mulus saja, karena dalam saat-saat tertentu pergolakan batin itu kembali muncul. 

"Kalau pas bulan Ramadhan, rasa ingin pulang ke Indonesia, ke kampung halaman itu makin menguat. Apalagi di negeri Belanda, lebih dari 12 jam kita harus berpuasa. Di sana, karena musim yang berbeda dengan Indonesia, kita mulai menahan lapar dari jam 3 dini hari sampai jam 10 malam. Kondisi-kondisi seperti itu yang membuat saya kangen dengan Indonesia, dengan kampung halaman," ujarnya mengenang.

Namun ternyata hal-hal seperti itu yang justru makin melecutkan semangatnya agar bisa secepatnya menyelesaikan studinya di Belanda. Semua mata kuliah dan tugas-tugas dari dosennya tak ada yang tak dia ikuti. Hingga akhirnya, dua tahun kurang dua bulan, Yogi berhasil menyelesaikan kuliahnya dan kembali ke tanah air dengan meraih IPK 7,7 dari skala 10.

Kembali bekerja di PT RAPP, Yogi mulai menerapkan ilmu-ilmu teknik pengairan yang didapatnya terutama menerapkan sistem Hydraulical Modelling yang lebih canggih di perusahaan yang telah membiayainya hingga meraih gelar Master. Dan kini, bersama satu rekan departemennya, Yogi mulai menjalankan teknologi canggih yang dipelajarinya dari hasil studinya yakni Integrated Catchment Modelling.

Kini, bekerja di perusahaan yang telah memberikan mimpi yang melampaui dari cita-citanya dulu, membuat Yogi ingin memberikan yang terbaik bagi perusahaannya ini. Kadang, dia bersyukur bahwa dirinya bisa terpilih untuk melanjutkan studi ke negeri Belanda hingga meraih gelar Master. 

Pasalnya, dia teringat saat kawan-kawan sekelasnya yang bersama-sama mengambil Master heran karena dirinya bisa disekolahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Sepertinya, bagi mareka hal seperti itu tak lazim. Soalnya, perusahaan Internasional sekelas RAPP pasti akan mudah merekrut karyawan ahli yang dibutuhkan oleh perusahaan, tapi ini kebalikan karena RAPP justru membiayai karyawannya agar karyawan tersebut bisa ahli di bidang tertentu, yang dibutuhkan oleh perusahaan. 

"Mereka bilang, kok mau ya perusahaan Internasional membiayai karyawannya untuk sekolah lagi? Padahal jika perusahaan butuh karyawan expert dengan keahlian tertentu, mereka hanya tinggal merekrut saja ahlinya, begitu kata kawan-kawan saya. Karena itu, saya merasa bersyukur RAPP telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mendalami ilmu," ungkapnya. 

Tapi sebenarnya, lanjutnya, apa yang dilakukan RAPP dengan membiayai karyawan untuk melanjutkan studi hingga ahli di bidang tertentu, itu adalah hal yang lumrah bagi perusahaan RAPP. Pasalnya, sudah banyak karyawan yang merasakan dan menikmati ilmu yang diraihnya dari hasil studi yang dibiayai oleh perusahaan.

"Jadi bagi kami sendiri, ini sebenarnya tak aneh. RAPP sudah biasa karena ini adalah sebagai bentuk investasi dalam pengembangan bakat karyawan di perusahaan. Nilai profesional benar-benar menjadi tolak ukur. Bahkan Grup APRIL sendiri memberi dukungan bagi karyawannya melalui penawaran beasiswa, tunjangan kesejahteraan dan program pelatihan. Bagi saya, RAPP dengan Grup APRIL-nya telah banyak memberikan karyawannya kepercayaan, kepercayaan untuk berkembang terus sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi perusahaan lewat kemampuan yang kita miliki," tutupnya.


http://www.riauterkini.com/pendidikan.php?arr=129015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar